Lebih Keren Mana: Kita Atau Bule?

14:17



Sebenarnya, kalau pertanyaan ini muncul 6 tahun lalu, saya akan bersemangat menjawab 'bule'. Terutama bangsa Amerika Utara dan Eropa sana (bagi saya). Tapi sejak tinggal di Bali tahun 2012, saya melihat kebalikan dari apa yang saya pikir sebelumnya. Jutaan orang dari seluruh dunia punya nama Bali dalam bucket list tempat yang harus mereka kunjungi sebelum mati, dan ribuan berebut berusaha tinggal di Bali dan mencari uang di Pulau Dewata milik Indonesia ini.
Awalnya, seperti semua turis domestik lain, saya berpikiran keren kalau bisa nongkrong atau makan di resto milik bule di sepanjang Seminyak. Tapi waktu itu saya bekerja untuk perusahaan bule, dan dalam suatu perbincangan (mantan) bos dengan kawan bulenya, saya menyadari sesuatu: Bule itu cuma menang gaya di Bali; orang Bali tetap yang megang Bali. Tapi sayang, nggak semua menyadari ini.

Waktu itu bos saya kira-kira bilang gini ke temannya: Kamu lihat semua resto milik bule ini? Bagus, mahal, dan bergengsi. Tapi kita terlibat utang banyak untuk menjalankan ini semua. Kamu tahu siapa orang paling kaya di Bali? Tuh, pemilik usaha jual suvenir grosiran (you-know-who kan? -red.) Kita bule-bule berlomba buka usaha di Bali, tapi yang megang perekonomian tetap orang Bali.

Mantan bos saya ini sadar, dia sebagai bule alias pendatang asing di Bali, tidak bisa mengalahkan orang Bali. Bekal mereka adalah gengsi dan ambisi (dan kurs mata uang yang membuat mereka kuat di Indonesia.) Sayangnya, (sebagian) orang Bali sendiri tidak ngeh soal ini dan masih berpikir kalau bule itu lebih keren dan lebih kaya dari kita. Padahal, menurut pengakuan pegawai toko atau resto di Seminyak, pemberi tip paling besar itu orang Jakarta, bukan bule. Ada, bule yang ngasih tip besar. Tapi secara kuantitas lebih banyak orang Jakarta yang murah hati dalam memberi tip.

biasanya danau sebiru ini 'cuma' ditemukan di Amerika tapi kita juga punya potensi lokasi syuting untuk Twilight loh!

Oke. Cukup tentang Bali. Itu adalah momen kesadaran pertama saya tentang kerennya Indonesia. Saat itu sih, saya belum bener-bener sadar juga. Tapi sejak itu semakin banyak pembuktian yang disodorkan di depan mata saya sehingga saya bisa sepenuhnya yakin mengatakan: kita lebih keren daripada bule!

Contohnya, kalau kalian perhatikan, ada semakin banyak video beredar dimana bule-bule mulai mempertunjukkan kemampuan mereka menyanyikan lagu Indonesia, memainkan alat musik tradisional, bahkan berbahasa Jawa dengan fasih. Semua ini menunjukkan bahwa ada nilai-nilai implisit dari budaya leluhur kita yang membuat mereka tertarik.

Semakin ke sini, saya melihat bukti-bukti kebesaran kerajaan Nuswantara yang masih tersisa di Indonesia. Walau kehidupan di dalam kota besar mengaburkan pandangan kita, tapi ketika kita berkunjung ke luar kota atau luar pulau (Jawa), kita bisa melihat kekayaan negeri ini jelas terbentang dari Sabang sampai Merauke, dalam bentuk keindahan alam dan melimpahnya hasil bumi. Terdengar klise seperti pelajaran IPS anak SD?

OK, kita breakdown sedikit. Coba intip lirik lagu 'Kolam Susu'-nya Koes Plus ini:

Bukan lautan hanya kolam susu 
Kail dan jala cukup menghidupimu 
Tiada badai tiada topan kau temui 
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga 
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman 

Bali: potret sempurna dunia ketika alam, budaya dan manusia bersatu dengan harmonis

Dalam sisi pangan, Indonesia memang tidak pernah kekurangan. Bahkan saya pernah ke sebuah daerah di mana tanahnya sangat kering dan kekurangan air, tetapi bisa tetap menghasilkan buah-buahan, asalkan tahu jenis apa yang harus ditanam (baca di sini.) Dan, setinggi apapun harga sembako di pasar, tidak ada orang Indonesia (secara general terutama di kota besar) yang sampai kelaparan seperti masa depresi malaise dunia sekitar tahun 1929 yang berlangsung 10 tahun. Bahkan di masa krisis ekonomi pun, bioskop tetap penuh dan ramai. Artinya, orang Indonesia masih mampu memenuhi kebutuhan hidupnya jika hal-hal tersier pun bisa dinikmati.

Dalam sisi sandang maupun papan, kita melihat jelas perkembangan industri dan bisnis dalam sektor ini di Indonesia, terutama di kota besar. Dalam beberapa kunjungan singkat saya ke beberapa daerah pun (Balikpapan, Samarinda, Jambi, Gorontalo) saya melihat kehidupan normal sesuai dengan norma dan adat daerah masing-masing (tidak bisa dibandingkan dengan Jakarta tentunya.) Jika ada permasalahan terkait dengan kebijakan soal diskriminasi SARA (terutama pada beberapa etnis khusus/suku pedalaman), itu adalah keputusan sebuah instansi, bukan ketidakmampuan manusianya. Toh mereka bisa hidup baik-baik saja dengan kebiasaan di habitat mereka sebelum kita turut campur memodernkan mereka.

Dengan kata lain, manusia Indonesia punya semacam kekuatan yang tidak disadari manusianya sendiri. Selama ini kita banyak tunduk pada bule karena mereka pandai bicara dan mem-branding sesuatu. Mungkin dalam hal ini kita baru mulai 10 tahun terakhir -- dan 10 tahun adalah waktu yang singkat untuk menjadikan kebiasaan merata bagi seluruh warga negara. Tetapi dalam hal kualitas SDA maupun SDM, kita punya potensi besar yang memang belum diasah.

Doktrin jaman orde lama bahwa kita adalah manusia yang "menang perang dengan bambu runcing" (yang secara kasat mata terkesan ndeso padahal secara tak kasat mata, kita dengan 'kekuatan' hanya bermodalkan bambu runcing bisa mengusir penjajah bersenjata api, artinya punya kekuatan batin yang lebih mumpuni daripada mereka yang hanya mengandalkan fisik) cenderung untuk melihat rumput tetangga lebih hijau. Padahal rumput sendiri sudah hijau, gemerlap pula (ingat 'Jamrud Khatulistiwa'? Sayangnya kemilau jamrud itu pudar oleh manusianya sendiri.)

air laut warna turquoise seperti ini banyak ditemukan di perairan Indonesia Tengah dan Timur; ngga usah ke luar negeri!

Kalau mau bicara soal bukti dan artifak sejarah, kita sebenarnya tak kalah dengan Mesir dan Inca. Bahkan, banyak situs yang ditemukan di Indonesia yang usianya lebih tua dari yang di luar sana. Hanya saja masyarakat kita sendiri yang cenderung meremehkan dan menganggap kecil hal itu (juga dikarenakan tidak paham soal arkeologi.) Sementara di luar sana mereka berlomba mengklaim keluhuran budaya dan legitimasi sejarah, kita tak peduli pada potensi yang ada di tanah sendiri.

Kalau mau membahas soal keindahan alam, tentu kita sudah mulai melek bahwa alam Indonesia sangat tidak kalah dengan alam tempat lain di dunia. Hanya saja mereka lebih dulu mengapresiasi dan mengabadikan dengan teknologi (baca: kamera) makanya kita ikut mengagumi alam mereka. Tetapi lima-sepuluh tahun terakhir kita sudah mulai sadar bahwa alam Indonesia punya kembaran di mana-mana, tersebar dari ujung ke ujung negara maritim ini. Yang masih kurang memang fasilitas pariwisatanya, karena masyarakat lokal tidak dipersiapkan untuk itu. Tetapi kalau kita edukasi dengan benar, kebayang nggak punya destinasi semacam Bali di seluruh pelosok Indonesia?

Yang kita ketinggalan memang pendidikan dan infrastruktur. Dahulu kala, Indonesia adalah pusat peradaban dan pusat pendidikan dunia. Bahkan universitas Buddha di zaman Kerajaan Sriwijaya dulu terletak di Jambi, sebelum pindah ke Thailand. Tetapi lima ratus tahun terakhir kebudayaan kita mulai mundur. Ada yang hilang dari rangkaian sejarah kegemilangan Indonesia (yaitu bukti sejarah yang sekarang disimpan di luar negeri, pusaka yang dijual ke kolektor asing, juga kontak dengan leluhur), yang membuat kita kalah pamor dengan negara-negara lain.

Saya di Candi Muaro Jambi, Oktober 2017 silam. Foto oleh Erlangga Pambudi.

Satu hal yang mungkin tidak banyak diketahui atau disadari publik Indonesia saat ini adalah, bahwa banyak negara lain dan perusahaan asing yang mulai melirik Indonesia untuk berinvestasi. Dan bukan dalam nominal yang kecil. Perusahaan-perusahaan multinasional berlomba mendirikan kantor cabang di Indonesia, dan sebagian menyuntik dana pada perusahaan lokal yang berpotensi. Lihat Google dan Facebook? Tidak di setiap negara mereka punya perwakilan kantor resmi loh!

Terakhir, saya mau bahas soal SDM. Bener sih, secara fisik memang kebanyakan orang bule itu keren (mungkin karena kulitnya putih, badannya tinggi, rambutnya pirang, matanya biru.) Tapi itu kan karena trik pesona Hollywood yang mem-brainwash kita kalau mereka itu keren dan negara mereka adidaya. Kalau kita ketemu bule di kehidupan sehari-hari, terutama yang menumpang tinggal di Indonesia, mereka juga banyak (tidak semua loh) yang katro, norak, dan sok tahu. Kadang mereka lebih kampungan dari kita, tapi merasa ge-er karena kitanya yang udah bersikap meninggikan mereka sejak awal. Karena mereka bule, kita cenderung lebih hormat pada mereka. Padahal, seharusnya mereka yang hormat sama kita, si tuan rumah.

Ini juga adalah permasalahan yang sering saya lihat di Bali, terutama wilayah Kuta. Saking 'dekatnya' Bali dengan Australia, warga sana berkunjung ke Bali setahun bisa dua kali dan akibatnya menganggap Bali adalah milik mereka. Tidak jarang mereka bersikap seenaknya dan mengaplikasikan budaya mereka di Bali. Herannya, biasanya kita manut saja. Pernah teman saya bentrok sama bule Australia karena hal sepele di sebuah resto (saya lupa intinya apa), dan si bule ngejawab: "Di Australia nggak apa-apa begitu." Oleh teman saya dibalas: "Tapi ini Indonesia, bukan Australia!"

soal budaya dan seni, Indonesia punya lebih dari 300 etnis yang khas dengan warisan masing-masing

Pepatah kita mengatakan: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Hal ini sering dilupakan oleh manusia modern yang sudah keenakan dengan gaya hidupnya sendiri (alias ignorant -- kurangnya pengetahuan yang menyebabkan seseorang jadi dungu atau bebal.) Biasanya penyakit ini dialami oleh manusia perkotaan, termasuk di Jakarta. Tapi, nggak sedikit bule yang bersikap begini. Intinya: mau dia bule atau lokal, sama aja! Kita sama-sama manusia, sama-sama ada yang pinter tapi ada yang katro. Ada yang ganteng atau cantik, ada juga yang jelek. Ada yang tukang bully dan ada yang korban bully. Potensinya sih sama, tapi perkembangannya gimana kita mengolahnya aja. Jadi nggak ada dasarnya kalau kita perlakukan mereka khusus cuma karena kulit mereka bule. 

Gaji mereka di sini juga jauh lebih tinggi dari gaji lokal karena mereka harus ngurus dokumen dll yang mahal. Tapi bukan berarti secara SDM kita kalah dari mereka. Banyak kok dari mereka yang menang di ngomong doang (bukan semua lho, ada juga mereka yang bener-bener mumpuni di bidangnya.) What I'm saying here is: plis stop mengelu-elukan bule dan menganggap mereka lebih keren dari kita! 

Dan yang saya maksud dengan 'bule' di sini bukan cuma untuk ras Kaukasian, tapi juga termasuk bangsa lain dari Asia juga. Bahkan Arab, negara pusat agama Islam, juga bergantung pada rombongan haji dan umroh (yang sebagian besar berasal) dari Indonesia makanya mereka bisa makmur dan menghiasi Mekkah dengan bangunan mewah. Jika kita stop kegiatan naik haji maupun umroh sepenuhnya (yang jumlahnya mencapai dua ratusan ribu orang per tahun), bisakah mereka tetap berjaya seperti sekarang? 

Bukankah artinya kita bangsa Indonesia yang terus-terusan menyokong perekonomian mereka dengan menaikkan devisa negara mereka? Kalau begitu artinya kita yang lebih keren dari mereka, dong! Kenapa kita bisa kalah gengsi dan malah mengadaptasi budaya mereka juga? Menjadi Islam bukan berarti menjadi Arab, kan? Karena Islam pertama di Indonesia berjuang mati-matian berbaur dengan budaya lokal, kenapa sekarang kita malah berlomba meninggalkan budaya leluhur dan malah menjadi Arab?

ini bukan di Swiss tapi di Jambi

 
Ayo kita mulai mengapresiasi diri kita sendiri dan melihat potensi bangsa. Saya sangat suka dengan gerakan Good News From Indonesia (GNFI) yang memamerkan prestasi anak bangsa (yang biasanya kalah pamor dengan berita politik atau selebriti.) Hal-hal seperti inilah yang seharusnya lebih banyak kita soroti dan dukung. Ini adalah saatnya bangsa ini bangkit dan bangga pada diri sendiri. Tapi untuk menuju hal itu memang perlu ada proses. Salah satu langkah awal yaitu dengan mempelajari sejarah -- maksud saya sejarah 500+ tahun lalu, bukan hanya sejarah perjuangan dengan bambu runcing. Jika kita tahu kisah betapa hebatnya kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia, ada banyak peer yang bisa kita selesaikan dari sana. (Dan bisa dimulai dengan membaca buku saya.)

Hal berikutnya yang harus kita lakukan adalah dengan mengedukasi bangsa, yaitu dengan mengedukasi diri sendiri terlebih dulu. Banyak baca, buka mata dan telinga, dan pakai akal sehat dalam memproses data. Dengan begitu, kita bisa lebih kebal terhadap isu-isu pengadu domba dan penghasutan berdasarkan SARA yang mulai marak di sekitar kita. Dengan being aware (sadar) terhadap hal yang terjadi di sekitar, kita bisa mulai mengajak lingkungan kita untuk menjauh dari isu SARA tadi dan berfokus pada hal yang lebih penting: persatuan dan kesatuan bangsa.

Nah dengan mengetahui hal-hal ini, being aware dan memakai rasa (mengasah hati nurani), kita bisa terhindar dari upaya adu domba 'tetangga sebelah' yang berpotensi memecah belah bangsa. Dan semakin mempererat barisan, bersatu padu membangun bangsa sendiri. Setuju?



Rahayu,

_/|\_

You Might Also Like

0 comments

Terima kasih sudah memberi komentar. Mohon kesabarannya menunggu saya baca dan balas komennya ya. Rahayu.

Popular Posts

Follow Me

Foto & Kopi Insta Feed

Subscribe