Renungan: Bukan Tentang Kamu

13:43


Semalam saya dan sahabat saya Ana ngebahas satu topik menarik dalam sesi Midnight Ramblings kita. Walau kali ini lewat telepon, tapi tetep bisa masuk kategori diskusi karena dilakukan pas tengah malam (ga penting sih ya detil ini LOL.) Topiknya berkaitan dengan film Infinity Wars yang masih main di bioskop, jadi cukup updated lah ya.

(If you don't understand, read the English version here.)

Jadi kita ngebahas tentang si tokoh antagonis Thanos dan apa yang dia lakukan (karena filmnya udah aga lama di bioskop jadi spoiler dikit gapapa kan..) So, intinya si Thanos ini melihat sesuatu yang buruk terjadi: wabah kelaparan dan kekurangan sumber daya alam sementara jumlah manusia terus bertambah. Idealisme dia tentang hidup yang sempurna terancam sirna. Dia berpikir kalau saja jumlah manusia tidak sebanyak itu mungkin sumber makanan akan cukup untuk semua orang. Akhirnya dia menemukan satu solusi: musnahkan sebagian orang, maka sisanya akan bertahan hidup.

Yang bikin 'kita semua' kesal adalah: kenapa dia berpikir kalau dia punya hak untuk memusnahkan manusia seenaknya, sementara itu adalah tugas Tuhan untuk menjaga keseimbangan di dunia. Mungkin Thanos pernah berharap dan menunggu, tapi keadilan itu tidak pernah datang. Mungkin itu sebabnya dia berpikir kalau Tuhan ternyata tidak berbuat apa-apa dan dia yang harus ambil alih.

Mungkin Thanos benar. Tapi sepertinya kita semua akan lebih setuju kalau Thanos itu nggak sabaran. Dia melihat hanya sebagian dari masalah dan langsung memutuskan jalan keluarnya. Dia memutuskan bahwa dirinya berhak untuk bertindak atas nama dan atas nyawa orang lain, lupa akan posisi dan porsinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Kami rasa ini juga yang tengah terjadi di negeri ini, khususnya seminggu terakhir dengan kasus terorisme di sana-sini. Orang-orang kemabuk dogma tanpa akal sehat dan berpikir dirinya berhak memutuskan nasib dan nyawa orang lain. Mereka mengecilkan kemahaan Tuhan dengan berpikir bahwa Tuhan terlalu lemah untuk mengatur alam raya ini. Akibatnya: Chaos. Kekacauan. Lagi-lagi ketidakseimbangan dunia.

Semalam saya nonton ulang film Doctor Strange dan meresapi lagi seluruh perjalanan Dr. Stephen Strange ke Kathmandu dan bertemu The Ancient One. Ada satu hal yang membuat The Ancient One meragukan Dr. Strange awalnya: ego yang besar. Tapi rupanya melalui serangkaian peristiwa, akhirnya Dr. Strange menyadari kalau segalanya lebih mudah kalau dia berserah pada hatinya. Berikut cuplikannya:

The Ancient One: Kesombongan dan ketakutan menjauhkanmu dari belajar hal tersimpel dan terpenting dari semuanya
Dr. Stephen Strange: Yaitu?
The Ancient One: Ini bukan tentang kamu.

Ego. Semua manusia pasti punya ini, dan yang bisa mengatasi ego bisa kita puji sebagai orang yang rendah hati. The Ancient One juga bilang gini ke Mordo: "We never lose our demons, Mordo. We only learn to live above them." Artinya, kita harus beraksi dan hidup lebih tinggi daripada kekurangan-kekurangan kita: ego dan 7 dosa maut (kesombongan, nafsu, keserakahan, kerakusan, iri dengki, kemalasan, dan kemurkaan.) Dengan mengatasi ini semua, kita bisa menjadi orang yang bebas dari ego.

Keseluruhan film Doctor Strange penuh makna buat saya pribadi. Terutama dalam perjalanan spiritual (tanggung, sudah disebut sebagai Pengembara Spiritual oleh Mas Muke dua minggu silam.) Bahwa masih banyak realita yang tidak diketahui oleh Dr. Strange si dokter ahli saraf yang paling hebat sekalipun. Bahwa masih banyak hal di dunia ini yang di luar akal kita, tetapi semuanya ada dan nyata. Hanya bagaimana kita bersikap saja yang menentukan apa kita bisa melihatnya atau tidak.

The Ancient One: [tentang magis] Kamu tidak bisa membuat sungai tunduk; kamu harus berserah mengikuti arusnya, dan gunakan kekuatan itu sebagai kekuatanmu sendiri.
Dr. Stephen Strange: Saya mengontrolnya dengan melepaskan kontrol? Kedengerannya nggak masuk akal.
The Ancient One: Tidak semuanya masuk akal. Nggak semuanya harus masuk akal. Kecerdasanmu telah membawamu jauh dalam hidup, tapi tidak lebih jauh. Berserahlah, Stephen.

Intinya: berserah. Pasrah pada Tuhan. Hilangkan ego diri dan pusatkan pada kemurnian jiwa dan hati nurani. Film ini juga mengajarkan kita untuk tidak pernah 'mengkultuskan' siapapun dalam hidup: presiden, artis cantik, gitaris hebat, sosok ternama, bahkan seorang guru hebat sekelas The Ancient One sekalipun. Karena pada hakekatnya mereka semua juga manusia, seperti kita adanya. Mungkin kebetulan mereka lebih dulu 'sampai' di sana, atau kita yang belajar dan mengejar belakangan.

Kadang kita terlalu mabuk dengan sebutan 'guru' sampai hal itu bisa mengarahkan kita pada kekecewaan nantinya. Karena guru pun manusia, dan mereka punya rahasia dan kelemahan. Mereka bisa tetap memerangi kelemahan itu dan tetap berada di atas sana, atau berhenti berusaha dan silau dengan hal lain yang membuatnya kembali mengikuti ego. Ketika itu terjadi, reputasinya jatuh dan kita semua sadar kalau dia pun seorang manusia dengan segala keterbatasan. Ini adalah sebuah pengingat supaya kita selalu mawas diri.

via failedcritics

Inilah kunci sebenarnya hidup ini: seberapa banyak kita mau berkorban atau mengalahkan ego diri untuk kepentingan banyak orang? Karena seperti kata The Ancient One: this is not about you. Hidup ini bukanlah untuk diri sendiri tapi untuk orang lain. Karena dengan memberi itulah kita menerima; salah satu hukum alam yang paling kuno, adil, dan indah.

Tapi balik lagi ya, dengan cara apa kita menjalaninya? Jika itu dengan kekerasan, dengan mengorbankan kebahagiaan, kepentingan, atau bahkan nyawa orang lain, itu artinya pemikiran kita belum benar. Ada yang harus diperbaiki di sini. Karena berdasarkan apa yang pernah saya baca dan alami, jawaban untuk segala permasalahan adalah CINTA. All you need is (always) LOVE!

Iman, pengharapan dan kasih. Faith, hope, and love. Ini adalah tiga hal terpenting dalam hidup yang bisa dijadikan pegangan untuk segala keperluan. Kalau apapun yang sedang kita lakukan atau pertanyakan tidak mengarah ke tiga hal ini, artinya kita sudah melenceng dari jalur. Coba renungkan lagi dan pertanyakan tujuan, alasan, dan cara kita melakukan hal yang kita lakukan. Gali terus, sampai dapat ke tiga hal tadi: iman, pengharapan, dan kasih. Dan yang terpenting dari semuanya adalah kasih.

Kita bisa saja berpikir pendek atau sempit seperti Thanos, walau alasan/tujuan awal kita baik, tapi ketika caranya tidak mencerminkan iman, pengharapan dan kasih tadi, ya artinya kita salah jalan. Kita bisa cari jalan keluar paling mudah karena malas berpikir (ingat: kemalasan adalah satu dari 7 dosa maut!) tapi kita bisa berpikir lebih lama, lebih luas, dan lebih tinggi untuk mencari jalan keluar yang lebih baik. Ketimbang menyebarkan kebencian atau ketakutan, bukankah lebih baik kalau kita senantiasa menyebarkan cinta?

Saya yakin sekarang sudah semakin banyak orang yang rela berkorban demi orang lain: rela kehilangan putri kesayangan demi keselamatan dunia, rela mati dengan bom bunuh diri demi kemenangan agama, dan banyak hal lain yang telah kita saksikan yang berujung duka. Tapi benarkah begitu caranya? Apakah Tuhan begitu jahatnya hingga tega meminta nyawa orang lain demi memenuhi janjiNya? Sebegitu terbatasnyakah Tuhan? Ataukah itu hanya kesalahan pemikiran kita semata, yang rupanya 'belum sampai' di level Tuhan?

Jika ada persyaratan yang menganjurkan kalau 'Tuhan akan memberikan janjiNya padamu kalau kamu rela menyerahkan yang paling berharga/paling kamu cintai dalam hidup', tolong jangan masukkan anak/orang tua/teman/nyawa orang lain ke dalam daftar hal yang paling kamu cintai dalam hidupmu. Pikirkan hal-hal lain yang melekat lebih erat padamu: amarah, ambisi, prestasi, impian, atau ego. Hal-hal inilah yang paling berharga dan paling kita cintai dalam hidup.

Pagi ini saya ngobrol dengan Joey, sahabat lama saya, dan kita ngebahas kasus terorisme yang tengah terjadi di negara tercinta ini. Joey bertanya apa saya sudah cukup gelisah untuk peka politik. Sebenarnya saya tahu kok apa pun yang terjadi di negara ini karena saya memantaunya dari medsos (karena saya pantang nonton TV -- maaf ya temen-temen pekerja media!) cuma aja saya menolak untuk terseret pada gelombang negatif perpolitikan.

Walau politik adalah cara untuk memperjuangkan suara agar didengar oleh pemerintah dan publik, tapi politik bukanlah satu-satunya cara. Ada banyak cara lain, salah satunya dengan berkarya. Tari, musik, sastra, lukisan, gambar, komik, patung, dan banyak hal lain. Kalau kamu nggak nyeni, bisa kok berkarya sesimpel menggerakkan komunitas sekitar, atau hal apapun yang menciptakan atau mengadakan sesuatu yang bisa berarti bagi orang banyak, minimal orang-orang di sekitar kita. Dan saya yakin efek dari karya ini akan jauh lebih positif ketimbang saya masuk ke ranah politik negara (sekali lagi, maaf ya temen-temen pejuang politik, tapi ini dari sudut pandang saya, kan kita bagi-bagi tugas..)

Kenapa berkarya? Karena karya adalah buah tangan atau hasil nyata dari proses pemikiran, perenungan, dan pendewasaan diri kita yang mewujud dalam sebuah bentuk keindahan. Dan keindahan inilah yang akan menyentuh hati nurani orang-orang, untuk membuka pikiran mereka, dan menggerakkan jiwa mereka. Berkarya adalah salah satu bentuk pemicu, atau inspirasi, untuk membangkitkan sesuatu di dalam diri manusia lewat rasa. Karena kadang bukan lagi kata-kata yang kita butuhkan untuk berubah, tetapi rasa.

Jadi ayo kita fokuskan diri untuk merasakan cinta, menyebarkan kasih, dan berkarya untuk menginspirasi. Karena kalau bukan kita (yang cukup peduli dan berani bertindak untuk mengubah dunia), siapa lagi?

You Might Also Like

0 comments

Terima kasih sudah memberi komentar. Mohon kesabarannya menunggu saya baca dan balas komennya ya. Rahayu.

Popular Posts

Follow Me

Foto & Kopi Insta Feed

Subscribe