Pater Glinka

12:29


Hari Kamis lalu saya janjian sama seorang penulis yang baru saya tahu namanya sekitar bulan Agustus 2018 lalu. Yang membuat saya tertarik pada perempuan bernama Bernada Triwara Rurit ini karena tokoh buku biografi yang ditulisnya adalah Pater Prof. Dr. Habil Josef Glinka, SVD, seorang pastor Katolik asal Polandia yang berjasa memberikan nama Victoria untuk saya. Pater adalah bahasa Latin untuk sebutan Father/Romo--panggilan untuk pastor Katolik.

Pater Glinka adalah dosen mendiang ayah saya, dan kebetulan sekitar tahun 1982-1984 mereka sama-sama berdinas di Flores. Ketika itu ayah saya ditugaskan melayani sebuah posyandu di desa Wolowaru, sekitar 3 jam perjalanan mobil/motor (dengan catatan jalanan berlubang, tidak beraspal dan jembatan banyak yang bolong-bolong yang membuat kendaraan lebih banyak ngerem daripada ngegasnya.) 

Mbak Rurit dan saya

Pater Glinka adalah orang pertama yang memberi tahu kehamilan Mama, bahkan sebelum ia tahu ia mengandung. Waktu kecil saya diceritain kisah ini, saya berpikir Pater Glinka punya semacam sixth sense gitu (belakangan saya baru tahu, Pater Glinka adalah seorang guru besar antropologi ragawi dan ketika itu tengah mengembangkan ilmu radiestesi--baca lengkapnya di buku ini.) Benar saja, Mama melahirkan anak perempuan sesuai prediksi Pater. Dan nama Victoria sudah dicanangkan saat saya masih berbentuk janin usia beberapa minggu saja!

Pater Glinka sempat menggendong saya setelah lahir, dan ini saya tahu karena Mama menyimpan fotonya di album masa bayi saya. Sayang, Papa dan Mama kembali ke Jakarta ketika saya berusia 3 bulan dan saya dibaptis oleh romo lain di Paroki Pasar Minggu. Tapi nama Pater Glinka hidup di ingatan saya sebagai sosok godfather. Beliau seperti sosok opa yang tidak pernah saya miliki, walau saya juga tak pernah lagi bertemu beliau ketika hidup.

Kesedihan yang saya rasakan atas kepergian Pater Glinka sangat mendalam
dan saya menghabiskan seharian itu menangis di kamar
(posting IG tertanggal 31 Agustus 2018)

Papa meninggal tahun 2009 dan otomatis kontak dengan kawan dan rekannya terputus saat itu. Kami pun sibuk dengan segala proses kehidupan: berduka dan menata ulang hidup tanpa Papa. Pernah saya terpikir untuk mencari Pater Glinka, tapi biasanya ide itu pupus karena masalah biaya karena kami tahu Pater Glinka sudah menetap di Surabaya. Walau perjalanan ke Surabaya tidak akan memakan biaya terlalu banyak, sesungguhnya memang kurang niat saja sih--harus saya akui kalau saya kurang suka mencari-cari orang; dan di benak saya waktu itu mungkin Pater Glinka lupa sama saya. 

Baru saya tahu belakangan dari Mbak Rurit kalau Pater Glinka mencari-cari saya di akhir usianya. Inilah penyesalan mendalam yang saya rasakan ketika mendengar kepergian beliau, hanya beberapa hari setelah peluncuran bukunya. Saya sangat menyesali logika yang menghalangi nurani saya ketika itu: logika perhitungan untung-rugi dan pendapat orang yang saya pertimbangkan untuk mengikuti kata hati membeli tiket ke Surabaya dan hadir di acara peluncuran itu. Tapi mungkin ikatan batin saya dan Pater Glinka belum cukup kuat saat itu. Lucunya, seharian di tanggal 31 Agustus 2018 saya menghabiskan waktu menangis karena ada dorongan kuat dari dalam dan luar, seakan Pater Glinka hadir di ruangan dan mengunjungi saya sebelum berangkat ke kehidupan abadi yang menantinya. 

Saya percaya, pertemuan dengan Mbak Rurit bukan kebetulan. Terutama karena ternyata kami punya mutual friend yang cukup unik: Mas Herwiratno yang bukunya pernah saya ulas juga di sini. Lalu saya melihat bahwa Mbak Rurit juga menangkap ide-ide saya yang dipandang cukup gila; rupanya energi kami memang selaras. Kami yakin Pater Glinka-lah yang mengatur pertemuan ini, sebagian untuk menutup kisahnya, sebagian lagi untuk melihat kami berkarya bersama .

tulisan Mbak Rurit di laman FB-nya

Saya menyadari bahwa dalam hidup ada saja hal-hal yang membuat kita sedih, kecewa, menyesal; tapi dari situlah kita bisa belajar untuk mengambil hikmat setiap kesulitan. Dan sosok Pater Glinka adalah salah satu nama yang selalu menaungi langkah hidup saya meski kami tak pernah bertemu muka dan bercakap-cakap. Mungkin bukan jatah kami di kehidupan sekarang untuk berdiskusi dan bercanda-tawa. Mungkin beliau hanya hadir di hidup saya sebagai pelengkap dan pengingat; bahwa kehadiran saya (dan setiap insan di dunia) adalah spesial.

Ini adalah buku tentang hidup dan pelajaran dari beliau, bisa didapatkan di toko buku atau www.kompas.id/gerai:




Rahayu.

P.S. Gambar judul diambil dari sesawi.net.

You Might Also Like

0 comments

Terima kasih sudah memberi komentar. Mohon kesabarannya menunggu saya baca dan balas komennya ya. Rahayu.

Popular Posts

Follow Me

Foto & Kopi Insta Feed

Subscribe