Renungan: Ilmu Jawa
10:45
Saya tidak berdarah Jawa. Dilahirkan di keluarga multi-etnis
Banten-Inggris-Chinese membuat saya tumbuh jauh dari adat Jawa, apalagi
ilmunya. Tetapi sejak kecil saya merasa nyaman berada di lingkungan Jawa. Dua
paman saya menikah dengan perempuan Jawa dan sejak kecil saya senang dipanggil
dengan sebutan ‘mbak’.
Pindah ikut pekerjaan ayah ke Bandung di usia 8 tahun
membuat hidup saya kemudian berubah. Kenyamanan masa kecil di Jakarta terenggut
dan saya dipaksa untuk belajar dan berbaur dengan lingkungan baru berbudaya
Sunda yang homogen; walau kawan terdekat saya tak pernah jauh dari etnis Jawa,
Batak dan Manado.
Masuk ke bangku SMA, saya mulai mengenal budaya Chinese—yang
tidak pernah diajarkan apalagi ditanamkan di keluarga saya yang termasuk
berpola pikir modern walau bertampang Tionghoa. Bisa dibilang, saya adalah
salah satu produk manusia urban yang jauh dari kata budaya yang berakar, karena
ketidakcocokan dengan budaya di sekitar yang membuat saya memilih untuk
berkiblat ke budaya Eropa yang saya nilai lebih masuk di akal dalam banyak hal.
Lalu pindahlah saya ke Bali di awal tahun 2012. Sejak saat
itu penggemblengan hidup yang sesungguhnya dimulai. Di Bali, tanpa sanak
saudara, saya mulai mengenal dan belajar tentang dunia di luar lingkaran saya. Satu
per satu pengetahuan, kepercayaan, maupun kesadaran diri saya ditantang sejak
saya keluar dari zona nyaman.
Saya mulai berkenalan dengan budaya Hindu-Bali, dan pada
akhirnya tiba ke akarnya; yaitu budaya dan ilmu Jawa—dan rupanya saya merasa
nyaman di sini. Tapi pengetahuan dan ketertarikan saya waktu itu masih di
permukaan saja. Saya perlahan menyadari, rupanya apa yang saya ketahui selama
28 tahun kehidupan bukanlah segala kebenaran yang ada di dunia—itu hanya
sebagian kecil saja yang selama itu menjadi gelembung dunia saya.
Selama 6 tahun berikutnya saya mengalami gejolak
pasang-surut kehidupan yang sungguh terasa memabukkan karena dipaksa keluar
dari gelembung itu. Guncangan demi guncangan saya alami dan ketika itu rasanya penderitaan
saya tiada berujung. Saya senantiasa diliputi duka terpendam yang menjadi akar
kegelisahan saya.
Tahun ini bisa dibilang tahun dimana saya menemukan titik
balik. Pengalaman dan pengetahuan yang saya kumpulkan selama ini semacam diuji
dengan beragam masalah yang bertambah berat, walau titik terendah hidup saya
sudah saya lalui dua tahun lalu. Bulan Oktober silam saya bertemu dengan
seorang guru yang membimbing saya menapaki titian kesadaran diri yang membawa
saya pada titik ini—dan saya merasa saya sudah ‘pulang’.
Saya merasa sudah ‘kembali di jalur yang benar’ dan tinggal
menjalani semuanya tanpa ada konflik batin yang dikarenakan ketidakselarasan
otak dan hati—yang rupanya selalu terjadi pada diri saya sebelum titik
pencerahan ini. Saya sudah berhasil meruntuhkan penghalang antara pikiran, roh,
dan jiwa saya, dan kini segalanya terasa harmonis. Dan rasanya saya ingin semua orang merasakan kebebasan jiwa yang sama.
Tapi bagaimana saya bisa membagikan pengalaman ini pada
kalian? Sebulan terakhir ini saya konstan merasa berbunga-bunga, bersemangat,
dan berapi-api tetapi juga penuh kasih yang melimpah—segalanya sempurna. Dan
saya ingin semua orang mengalami hal serupa; menikmati berkat kehidupan dan
membagikannya pada semua orang. Tetapi bagaimana cara menyampaikan ini pada
kalian—sementara hal seperti ini tidak ada bentuk, ukuran, maupun batasannya?
Satu hal yang saya sadari adalah bahwa ilmu Jawa tidak bisa
diajarkan. Itu sebabnya, tak banyak yang betul-betul paham tentang ilmu ini. Kita
bisa membaca, mendengar, atau melihat semua budaya dan ajaran yang ada, tetapi
sebelum melakoni dan mengalaminya sendiri kita tidak akan pernah sepenuhnya
paham. Ilmu Jawa adalah (salah satu) ilmu tertua dan tertinggi di dunia, dan saya bisa
mengatakan demikian setelah mengalaminya—hal ini tak saya temukan pada ilmu
dari belahan bumi bagian lain yang pernah saya tahu/pelajari.
Sejak kecil saya taat beribadah di Gereja Katolik mengikuti
agama keluarga besar. Tetapi lepas masa remaja saya mulai terpapar pada dunia
spiritual yang saya dengar dari wejangan orang tua dan saya baca dari buku-buku
Paulo Coelho. Hal-hal ini memperkaya sekaligus membebaskan saya dari segala
dogma. Sejak tahun kedua tinggal di Bali, saya meninggalkan aturan agama dan
hanya mengikuti ajarannya.
Saya sering mendengar ibu saya berkata: “Agama tak lebih
adalah kendaraan. Tapi untuk naik ke puncak gunung, kita harus meninggalkan
kendaraan itu dan berjalan kaki.”
Belakangan saya menyadari, saya sudah lama meninggalkan
kendaraan dan berjalan kaki menuju puncak itu. Mereka menamakan fase ini
sebagai perjalanan spiritual. Tapi rupanya untuk sampai di atas pun banyak
rintangannya. Tanpa kendaraan, kondisi kita lebih rentan untuk diserang dari
berbagai penjuru atau jatuh ke berbagai lubang tanpa penahan. Tetapi di situlah
kita digembleng untuk jadi lebih kuat dan memilih: apakah kita berhenti di sini
dan kembali turun atau jalan terus?
Petualangan spiritual ini menjadi lebih ‘seru’ ketika saya
bertemu dengan berbagai guru yang berniat (ataupun tidak sengaja terpaksa) membantu
dalam perjalanan saya. Dari mereka saya belajar; ada yang banyak dan ada yang
sedikit; ada yang lama dan ada yang sebentar; ada yang pengalamannya indah
serta lancar dan ada yang menyebalkan hingga menyesatkan. Tetapi semuanya punya
andil dalam membantu saya menemukan jalan yang ‘benar’. Dan saya mensyukuri
setiap pertemuan itu karena saya belajar banyak terutama tentang diri saya
sendiri di sana.
Bisa dibilang, bulan Oktober kemarin saya baru sampai di
puncak gunung itu; puncak pencerahan atau bahasa kerennya enlightenment. Tetapi sesampai di sana—di luar ekspektasi saya—saya
menemukan tangga-tangga baru menuju langit. Dan tangga ini saya tidak lihat
sebelumnya waktu masih berada di bawah.
Kini saya sadari kenapa waktu itu tangga ini invisible: mereka yang sudah menapaki
tangga ini sudah tidak terlihat kebingungan (atau keblinger) seperti waktu saya
baru sampai di level awakened hingga menyasar
ke sana kemari untuk menemukan jalan ke puncak. Mereka yang sudah menapaki
tangga ini tampil apa adanya: percaya diri seperti waktu mereka ‘masih
berkendara’ dulu, tapi rendah hati dengan bobot yang lebih berisi dan pemahaman
yang lebih luas tanpa pretensi. Semua itu bisa kita bedakan dari kedalaman pembahasan mereka—atau
dari rasa yang kita latih.
Di titik ini saya belajar bahwa kunci dari ilmu Jawa
hanyalah satu: laku/lakon. Tanpa
mengalami, kita tidak akan memahami. Dan pengetahuan saja tidak pernah cukup
karena tanpa menjalani kita tidak akan menguasai. Itu sebabnya sulit bagi orang
awam untuk belajar ilmu Jawa, sebanyak apapun buku yang ia lahap untuk
mengetahuinya.
Saya punya bertumpuk-tumpuk buku tentang ilmu/budaya Jawa
yang saya kumpulkan demi riset untuk penulisan novel trilogi saya, dan harus
saya akui tidak ada satupun dari buku itu yang ‘berbunyi’ hingga saya
mengalaminya sendiri. Tapi tanpa teks dan wedaran itu juga akan sulit untuk
memahami semuanya secara utuh; jadi buku-buku dan pembabaran itu tetap punya
peranan penting—selama dibarengi dengan laku secara sadar.
Saya ingat sebuah kutipan mengatakan: “Agama adalah
mempercayai perjalanan jiwa seseorang. Spiritualitas adalah ketika kita
menjalaninya sendiri.”
Saya tidak bilang kalau pelajaran saya kini sudah usai. Sebaliknya,
hidup yang sesungguhnya justru baru dimulai. Dunia ini luas dan hidup saya
masih panjang. Masih banyak sekali hal yang belum saya ketahui, yang akan saya
pelajari ketika tiba saatnya nanti. Tapi saat ini saya tahu saya cukup
beruntung untuk sampai di titik ini, yang mungkin belum dialami oleh kebanyakan
orang. Saya juga merasa beruntung bahwa ketika saya sampai di sini, beberapa
pejalan jiwa lain yang selaras muncul untuk menggandeng tangan saya berjalan
bersama.
Dan karena itu saya ingin berbagi catatan yang mungkin bisa
membantu kalian dalam perjalanan spiritual kalian, walau saya yakin pengalaman
kita masing-masing akan berbeda dan unik sesuai kapasitas diri. Berikut adalah
beberapa hal yang saya kumpulkan dalam sebulan terakhir:
- Kosongkan wadahmu dan buka pintu untuk segala kemungkinan. Cangkir yang penuh tidak bisa diisi lagi. Coba pahami kata-kata ini: Yang kosong adalah isi, dan yang isi adalah kosong. Segala yang kita tahu belum tentu adalah kebenaran dan belum tentu adalah segalanya.
- Ada banyak kebenaran di dunia ini jadi bukalah hati dan pikiran untuk menerima banyak hal. Apa yang belum bisa kita pahami, disimpan saja dulu. Pada saatnya semua itu akan bisa dimengerti. Santai saja, dan segalanya akan terungkap pada saat kita sudah siap.
- Jangan batasi dirimu dengan hanya menggunakan otak kiri atau otak kanan. Manusia diciptakan dengan organ yang lengkap, maka kita harus memaksimalkan semua potensi diri dengan mengaktifkan semua fungsi otak—darimanapun kita berasal, bagaimanapun kita dilahirkan.
- Dunia ini luas dan otak manusia terbatas. Tetapi hati kita luas karena di dalamnya ada roh yang tak pernah mati dan jiwa yang tak terbatas. Karena itu, selaraskan hati dan pikiran supaya bisa melihat segalanya lebih jelas.
- Spiritual berbeda dengan supranatural. Spiritual adalah segala yang berhubungan dengan spirit (roh) sementara supranatural adalah hal-hal yang melibatkan kekuatan dari alam lain (bawah). Harus dibedakan antara pejalan spiritual dan pelaku supranatural.
- Sadari bahwa setiap manusia punya 3 hal ini: kecerdasan intelegensi, kekuatan indera keenam (punya 'bakat'/peka), dan kesadaran jiwa. Mereka yang berkesadaran tinggi bisa dibedakan dari topik dan bobot pembicaraannya serta tingkah laku kesehariannya.
- Jangan sampai terkecoh dengan mereka yang cerdas dan 'berbakat' tapi tidak berkesadaran tinggi. Orang yang berkesadaran artinya orang yang sudah menyatu dengan Roh Kudus/Sang Atman di dalam dirinya dan tak lagi bertindak berdasarkan ego diri.
- Jangan ragu untuk memutus hubungan dengan orang-orang yang menyedot energimu. Mereka yang terpengaruh energi alam bawah punya kecenderungan seperti itu. Perhatikan dan sadari siapa saja orang yang menyebarkan energi negatif ini dan jauhi mereka.
- Hiduplah pada saat ini. Yang sudah terjadi sudah berlalu dan masa depan belum terjadi. Segala penyesalan tidak akan mengubah kenyataan dan kita punya kemampuan untuk menciptakan masa depan yang kita inginkan. Jadi jangan pernah menyesal atau khawatir.
- Jangan terjebak dalam romansa masa lalu karena hal itu sudah lewat. Majulah terus tanpa prasangka atau analisa. Syukuri yang sudah terjadi dan simpan dalam memori. Apa yang indah akan tetap indah dikenang, tetapi bukan untuk diulang. Semesta tidak akan kehabisan berkat.
- Kita menarik hal-hal yang sesuai dengan diri kita—bukan apa yang kita inginkan atau kita rencanakan. Jadi bangunlah diri sendiri dengan dasar yang kokoh dan sebarkan frekuensi positif. Maka kita akan menarik hal-hal positif dalam hidup.
- Jangan fokuskan mencari sesuatu. Mencari kekayaan, kesaktian, makna hidup, dst. Semakin kita mencari, kita tidak akan mendapatkan. Tapi fokuslah pada pembenahan diri menjadi manusia yang lebih baik setiap hari. Niscaya semua hal yang kita idamkan akan datang tanpa kita sadari.
- Jangan pernah takut apalagi menyesal untuk berbuat salah, karena ini adalah bagian dari proses belajar. Yang paling penting adalah bagaimana tindakan kita selanjutnya untuk menyikapi kesalahan itu: apakah kita belajar dari itu, lalu bangkit dan berusaha memperbaikinya?
- Semua hal terjadi apa adanya sesuai dengan bagaimana diri kita. Jadi tetapkan standarmu, jalani hidupmu penuh rasa syukur dan dalam kesadaran penuh, dan lihat semuanya akan berjalan sesuai dengan Rancangan Agung Semesta.
Sekadar catatan: menjadi petualang jiwa bergender perempuan
bisa jadi sangat menantang karena kasus yang saya hadapi kurang lebih mirip: kebanyakan
pihak yang menganggap dirinya ‘guru
spiritual’ yang saya temui cenderung punya tendensi ego yang tinggi terhadap
kaum perempuan. Dan ini menjadi salah satu tolok ukur baru bagi saya untuk
mempercayai seorang guru, karena dengan bekal ilmu yang ia miliki ia bisa
menyetir pola pikir sang murid untuk melakukan apa yang ia inginkan tanpa
merasa bersalah seolah keinginan itu datang dari dalam diri sang murid.
Sementara mereka yang berperan sebagai pembimbing sejati
bagi saya tidak pernah menghilangkan jarak antara guru dan murid (tidak
membiaskan batasan menjadi pasangan dan terjebak dalam romantisme peran), melainkan
mengambil posisi sebagai bapak/ibu dan anak—karena guru dan murid akan selalu
datang dan pergi sesuai dengan jatah, porsi, dan waktunya. Jangan pernah
terikat pada satu sosok apalagi mengkultuskan seseorang, karena kita semua
manusia yang pasti punya ego. Percayalah hanya pada tuntunan Guru Sejati yang
bertakhta di dalam hati. Nuranimu tak akan pernah salah.
Bertemu dengan banyak guru spiritual sangat melatih saya
untuk membedakan makna di balik apa yang terucap dan apa yang tersirat di balik
tutur kata maupun tindakan mereka. Semoga teman-teman pun bisa membedakan
ketulusan dan kemurnian jiwa orang-orang yang kalian temui dalam hidup ini dan
belajar dari semua kesalahan. Selama masih hidup, kita akan terus belajar. Jadi
maju saja terus dan jalani hidup dengan penuh kesadaran, dan jadilah bahagia
sebagaimana kita semua berjatah!
Rahayu,
_/|\_
4 comments
Bless your soul ��
ReplyDeleteBless you back!! <3
Delete_/|\_
Sebuah èSai yang indah,padat,Lugas tentang 'mengingatkan' kita untuk menjadi bagaimana yang seharusnya dan sePantaSnya sebagai pRibadi (Roh) yang utuh--- 'remember' agar bisa 're-member', konsep sejati manusia.
ReplyDelete-Bërkåh Dålêm GüŠti-
MåTüR SüWüN
Terima kasih sudah membaca, semoga selalu selaras ya..
DeleteBerkah dalem _/|\_ Rahayu
Terima kasih sudah memberi komentar. Mohon kesabarannya menunggu saya baca dan balas komennya ya. Rahayu.