7 Hari, 6 Tokoh Inspiratif
15:02
Projek film dokumenter Garin Nugroho yang terbaru melibatkan saya dalam proses pra-produksinya. Saya tidak akan mengatakan bocoran apapun mengenai filmnya, tapi saya akan bercerita tentang 5 tokoh inspiratif yang saya temui dalam perjalanan 7 hari saya meriset lokasi dan narasumber untuk keperluan syuting. Perjalanan ini dibagi menjadi dua: 4 hari di Yogyakarta dan sekitarnya tanggal 25-28 Maret dan 3 hari di Lampung tanggal 5-7 Maret kemarin.
Di masing-masing perjalanan ini saya ditemani dengan tim berbeda berisi 3 orang: saya, petugas produksi film, dan driver. Di Yogya saya ditemani Om Wowo dan Om Yayan (kawan lama Om Wowo ini driver kami selama di Yogya - bisa dihubungi di sini kalau kalian mau jalan aman nyaman keliling Yogya nih) dan perjalanan ke Lampung bersama Mas Adi dan Pak Juki lewat jalan darat alias road trip.
Saya menginvasi ruang nahkoda |
Di masing-masing perjalanan ini saya ditemani dengan tim berbeda berisi 3 orang: saya, petugas produksi film, dan driver. Di Yogya saya ditemani Om Wowo dan Om Yayan (kawan lama Om Wowo ini driver kami selama di Yogya - bisa dihubungi di sini kalau kalian mau jalan aman nyaman keliling Yogya nih) dan perjalanan ke Lampung bersama Mas Adi dan Pak Juki lewat jalan darat alias road trip.
Ngobrol dengan bapak-bapak pegawai negeri di hari pertama kunjungan, lumayan deg-degan ya |
Hari pertama dan terakhir perjalanan pertama saya habiskan di Kabupaten Magelang, tepatnya di Kecamatan Borobudur, Provinsi Jawa Tengah. Ada sebuah program pemerintah bernama Balkondes (Balai Ekonomi Desa) yang sedang diterapkan di 20 desa sekitar Candi Borobudur untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan cara pembangunan infrastruktur, pelatihan berbagai keahlian, dan pembinaan pengembangan desa. Tapi kita tidak membahas hal ini sekarang (baca nanti di akhir artikel).
Sugeng Handoko
Hari kedua kami meluncur ke Gunung Kidul, tepatnya ke Desa Nglanggeran. Desa ini terkenal dengan tempat wisata gunung api purba-nya, dan telah meraih berbagai penghargaan kelas Asia Tenggara untuk tempat wisata kategori CBT (Community-Based Tourism atau kawasan wisata berbasis masyarakat). Dan beruntung, kami bertemu dengan Sugeng Handoko, sang pelopor kawasan ekowisata tersebut.
Menyelesaikan skripsi S1 jurusan teknik dan bekerja magang di kota Bandung tidak lantas membuat dirinya lupa kampung halaman. Berbekal pengetahuan yang ditimbanya selama beberapa tahun merantau, Sugeng memutuskan untuk kembali dan mengajak para pemuda Karang Taruna desanya untuk mengembangkan potensi ekowisata daerah yang terkenal berbatu dan tandus itu. Mereka tergabung dalam Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata), sebuah komponen penting yang melibatkan warga setempat di sekitar kawasan wisata agar berperan aktif mendukung potensi desanya.
Mereka memenangkan sebuah lomba di tahun 2012 dan hadiahnya yang berupa sejumlah dana mereka manfaatkan untuk pembangunan beberapa fasilitas yang mendukung pengembangan desa mereka menjadi kawasan ekowisata. Dalam tujuh tahun terakhir mereka sudah berkembang pesat. Desa yang tadinya hampir tandus kini hijau karena warga tak lagi menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Desa yang tadinya sepi kini ramai bukan saja oleh pelancong tapi juga warga yang urung merantau.
Mas Sugeng dan kameranya merekam keindahan Danau Embung dari ketinggian |
seringkali bertugas memotret, sekali-kali dipotret |
Bahkan mereka yang telah merantau kini pulang dan berpartisipasi mendukung aktivitas wisata: jasa pemandu, penyewaan kamar homestay di rumah masing-masing, sampai penyewaan mobil dan jasa menyupir. Para perempuan juga aktif menanam, memetik, dan mengolah biji kakao menjadi produk minuman cokelat dan berbagai penganan cokelat lain. Sebagian lagi berlatih membatik, sementara yang lelaki menari janthilan (semacam kuda lumping) dan reog mataraman. Kehidupan di desa terpencil ini sungguh berwarna!
Yang membuat saya kagum adalah semangat para pemuda yang mengubah nasib satu desa ini. Menciptakan sebuah budaya baru di tempat yang hampir terlupakan dan mendatangkan turis serta ilmuwan ke tempat terpencil yang tadinya tak pernah dilirik. Yang membuat saya kagum adalah kebersihan kawasan ini, baik dari lingkungan maupun sistem yang mereka terapkan untuk pembelian tiket: e-ticketing!
Sungguh, saya tidak menyangka mereka terpikir untuk membuat sistem penjualan tiket yang go-green (dan saya merasa super hepi dan bangga karenanya). Tapi itu bukan satu-satunya yang 'wah' dari kecanggihan desa ini mengolah potensinya. Ada berbagai kegiatan outdoor yang bisa dilakukan di sini, termasuk hiking, flying fox, dan berkemah, juga berkunjung ke Danau Embung dan Air Terjun Kedung Kandang. Dannn... yang wajib dicoba adalah bakpia cokelat lezat mereka di Griya Cokelat!
[Saya harap kita juga bisa segera membaca tulisan karya mas Sugeng yang bercita-cita menulis buku tentang Desa Nglanggeran. Jadi penasaran ya, seperti apa isi bukunya nanti..]
Pak Yohanes
Hari ketiga di Yogyakarta kami habiskan di dalam kota. Setelah mendatangi beberapa kafe/co-working space dan berakhir di Ekologi. Setelah mengobrol dengan beberapa pegawai, kami diperkenalkan pada ayah dari pendiri tempat ini. Yang tadinya kami hanya berniat untuk ngobrol singkat malah jadi sesi sharing panjang yang membuat saya semakin jatuh cinta pada tempat ini. Yup, tanpa harus ngobrol dengan owner pun kita akan merasakan kehangatan dan kenyamanan Ekologi sejak dari tempat parkir yang rindang dan bangunan yang ramah lingkungan.
Rupanya memang itulah kesan yang ingin dihadirkan oleh Pak Yohanes dan anak-anaknya selaku otak dan pelaksana kafe ini. Mereka berusaha menjawab kebutuhan masyarakat kota kekinian akan tempat untuk bekerja mobile yang nyaman tanpa harus masuk ke ruang bersekat seperti konsep co-working space umumnya di Jakarta. Wi-fi kencang, meja dan kursi yang nyaman, makanan dan minuman yang enak dan nggak mahal (tentu ada teori relativitas di sini), dan banyak hijau-hijau untuk mengistirahatkan mata. Dan, tamu tidak akan diusir walau hanya pesan satu minuman dari pagi sampai malam di sini. Sebegitu nyamannya hingga banyak yang merasa Ekologi adalah rumah kedua mereka.
tampak depan Ekologi |
Pak Yohanes, saya, Om Wowo, dan Mas Dimas (maafkan pencahayaan seadanya ini) |
Yang membuat saya kagum pada konsep kafe ini adalah komitmen mereka untuk mempekerjakan anak-anak sekolah dan menyekolahkan pekerja mereka (terutama dalam hal perkopian alias jadi barista). Kafe ini membuka pintu bagi siapa saja yang mau belajar dan mendukung penuh baik bagi karyawan maupun tamu. Itulah sebabnya mereka mengadakan agenda bulanan seperti workshop untuk pengusaha muda. Anak-anak Pak Yohanes juga sedang membangun sebuah aplikasi untuk mengatur sendiri jadwal wisata bernama Travling (segera di Android). Menurut saya sih keren ini idenya. Kita doakan supaya prosesnya lancar dan bisa berguna untuk kita yang suka melancong ya!
Dan, satu lagi nih: mereka hanya menggunakan kopi lokal alias kopi asli Indonesia dari berbagai kawasan. Oh ya, mereka juga punya satu tempat lagi bernama Estuary tak terlalu jauh dari Ekologi. Dengan konsep berbeda, susah untuk mengatakan mana yang lebih bagus. Saya suka dua-duanya!
Mbak Shinta
Lompat beberapa hari 'libur' di Jakarta, hari pertama tiba di Lampung kami disambut oleh Mbak Shinta yang mengundang makan malam bersama. Ia datang bersama suami dan kedua anaknya, dan kami mengobrol seru layaknya kawan lama. Saya cukup kaget dengan keramahan Mbak Shinta, terutama karena dua orang yang saya temui sebelumnya sore itu. Dan, sepanjang ngobrol itu berulang kali saya mengucap "luar biasa" menanggapi cerita perempuan pejuang ini.
Bermula dari ketidakmampuan finansial keluarga, Mbak Shinta muda bertekad untuk melakukan apapun supaya bisa kuliah. Karena orang tua tak mampu membiayai, ia memutar otak dan akhirnya berjualan keripik pisang. Ia menggoreng sendiri pisang kepok pilihannya, membungkus dan menjualnya di sebuah kios kecil pinggir jalan mirip dengan kios penjual buah. Tapi tekad kuatnya membuahkan hasil. Segera, ia mampu membeli mobil bak terbuka dan membayar kuliah dengan bisnis yang melesat ini.
saya, mbak Shinta, suami dan anak-anak, dan Mas Adi (saya kagum dengan komitmen Mbak Shinta dan suaminya yang kompak mengembangkan usaha ini tanpa mengesampingkan keutuhan keluarga) |
toko oleh-oleh Keripik Shinta |
kopi susu gula aren dan keripik singkok rasa barbecue - sarapan kenyang di sini! |
Meski dimulai di tahun 2005, bisnis ini pernah surut juga. Namun Mbak Shinta menolak menyerah dan berjuang lebih keras lagi. Sejak 2012, ia berhasil naik perlahan, meski harus mengganti nama usaha dan memulai segalanya kembali dari nol. Kini ia pemilik toko keripik yang paling menarik di sepanjang jalanan. Ia mempersilakan semua mencicipi semua produknya tanpa dibatasi (dan kami sampai sarapan di sana saking kenyangnya) dan menyapa ramah setiap pengunjung yang datang.
Walau telah sukses, Mbak Shinta tak pelit membagi ilmunya pada orang lain. Ia seringkali diminta untuk menjadi pembicara untuk menginspirasi para perempuan lain hingga para TKI di Hong Kong untuk memulai usaha. Hal ini telah membantu mengurangi jumlah tenaga kerja untuk bekerja di luar negeri, dan membantu banyak perempuan memulai usaha mereka walau bukan jualan keripik. Mbak Shinta juga membina beberapa anak muda untuk membuat keripik dengan standardisasinya. Ia tak takut tersaingi karena tujuannya bukanlah untuk jadi yang terbaik tapi untuk maju bersama-sama.
Selain usaha keripik dan menjual banyak titipan orang, Mbak Shinta tengah memulai usaha bakery dengan memperkenalkan produk baru berupa pie pisang (enak banget deh ini!) dan usaha kopi dengan produk andalan kopi susu aren-nya. Ia sengaja menggunakan semua sumber daya alam dari provinsi sendiri: kopi dan pisang jualannya semua dari perkebunan di sekitar kota Bandar Lampung. Pokoknya selama dua kali pertemuan kami di Bandar Lampung (kami sempat mampir lagi di hari terakhir), saya cuma punya satu komentar yang terus-terusan terlontar untuk perempuan satu ini: "luar biasa ya, Mbak Shinta ini!"
Pak Imron Rosadi
Terus terang, saya baru pernah dengar namanya saat mampir ke Desa Pringsewu di hari kedua di Lampung ini. Maklum, saya bukan penggemar olahraga. Tapi bahkan penggemar olahraga pun banyak yang asing dengan nama ini, karena angkat besi (weight lifting) dan angkat berat (power lifting) bukanlah olahraga populer. Menurut Pak Eddy Santoso, putra pertama Pak Imron, angkat besi bukan olahraga untuk orang kaya.
Betul juga, saya perhatikan ketika sampai di Padepokan Angkat Besi Gajah Lampung ini suasananya sederhana. Namun kompleks rumah bercat putih dan aksen biru itu tampak rapi dan bersih. Ketika sampai di sana pukul 9 pagi, terlihat 15 remaja tengah berlatih mengangkat besi atau mengangkat berat. Di sebuah kota kecil berjarak satu jam dari kota Bandar Lampung ini sebuah padepokan sederhana mengubah nasib banyak anak desa. Sudah puluhan atlet peraih medali emas dunia dan pelatih berskala nasional maupun internasional 'lahir' dari padepokan ini. Semua berkat jasa seorang Imron Rosadi.
Betul juga, saya perhatikan ketika sampai di Padepokan Angkat Besi Gajah Lampung ini suasananya sederhana. Namun kompleks rumah bercat putih dan aksen biru itu tampak rapi dan bersih. Ketika sampai di sana pukul 9 pagi, terlihat 15 remaja tengah berlatih mengangkat besi atau mengangkat berat. Di sebuah kota kecil berjarak satu jam dari kota Bandar Lampung ini sebuah padepokan sederhana mengubah nasib banyak anak desa. Sudah puluhan atlet peraih medali emas dunia dan pelatih berskala nasional maupun internasional 'lahir' dari padepokan ini. Semua berkat jasa seorang Imron Rosadi.
Padepokan angkat besi dan angkat berat yang sederhana tapi rapi dan bersih |
Pak Imron Rosadi, sehari setelah ulang tahun ke-77 |
Pak Imron sendiri memulai kariernya di dunia angkat besi pada tahun 1965, setelah hanya dua tahun berlatih sejak dilirik oleh seorang atlet senior. Pertama kali ia mencoba mengangkat besi ia berhasil di angka 90 kg, lalu yang kedua meningkat ke 119 kg. Padahal aslinya ia tidak punya pengetahuan apapun di bidang angkat besi. Ia hanya putra pedagang di Desa Pringsewu yang sering mampir ke Bandar Lampung untuk jualan. Tak disangka, hidupnya berubah sejak menyentuh stik barbel.
Tahun 1967, bersamaan dengan pernikahannya, Pak Imron memulai padepokan dengan merekrut anak-anak dari keluarga kurang mampu tapi terlihat berbakat. Mereka tinggal di mess sejak usia 9-15 tahun, diberi makan 3x sehari, dan digaji. Awalnya dana ini dikeluarkan sepenuhnya oleh Pak Imron, tapi sejak 1989 pemerintah provinsi memberi bantuan operasional. Tetap saja, fasilitas padepokan seperti alat-alat, perlengkapan sasana, listrik, mess, dan lainnya adalah beban yang ditanggung keluarga Pak Imron.
Untuk memenuhi kebutuhan padepokan, anak-anak Pak Imron membuka bengkel mobil Gajah dan kedai makan MM - gak bohong, ini adalah salah satu bakmi paling enak yang pernah saya makan! |
Roy Samsul Bahri, jadi atlet angkat besi karena ingin punya profile picture FB di luar negeri--dan tahun 2017 silam mimpi itu terwujud di kejuaraan King's Cup Thailand |
Saya berkesempatan ngobrol dengan Roy Samsul Bahri, seorang peraih medali perak King's Cup di Thailand. Dari ia saya jadi tahu banyak hal yang tidak diceritakan oleh Pak Imron maupun Pak Eddy: bahwa mereka menanamkan disiplin dengan memberi anak-anak jadwal piket (tak heran
kenapa padepokan ini bersih dan rapi luar biasa) dan mengarahkan mereka
dengan pesan dan arahan hidup yang menjadi bekal mental yang mungkin tak
didapat dari orang tua mereka. Di dalam padepokan ini Pak Imron dan keluarganya tak hanya melatih mereka (tiga
hari seminggu untuk latihan dan empat hari lainnya bebas) tapi juga
mendidik mereka.
Sepanjang ngobrol dengan Roy saya merasakan dada saya sesak karena haru. Bayangkan kepedulian seorang pria keturunan Tiongkok ini dalam membangun desa kelahirannya dengan cara yang ia tahu: angkat besi. Padahal ia tak punya hubungan apapun dengan anak-anak ini, tapi ia cukup peduli membuka peluang untuk hidup yang lebih baik bagi mereka. Saya merasa beruntung bisa bercakap-cakap dengan Pak Imron di malam hari, karena waktu kami datang pagi ia baru berangkat ke Bandar Lampung. Untungnya kami kembali lagi di malam hari, jadi bisa bertemu dengan veteran atlet berusia 77 tahun ini. Oh ya, waktu kami datang beliau baru saja merayakan ulang tahun sehari sebelumnya--tanggal 5 Maret.
Terima kasih, Pak Imron, untuk dedikasimu bagi negeri ini. Enam medali emas, puluhan medali dan penghargaan lain, dan ratusan nasib* hidup yang berubah berkatmu. _/|\_
*) nasib adalah usaha manusia di mana berhasil atau tidaknya usaha manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri [ffugm]
Mas Didi Harry Libriantho
Saya bertemu dengan Mas Didi atas rekomendari Mas Welly, pemilik kedai Amnesty Coffee. Berkat Mas Adi, orang produksi yang ikut dalam tim riset Lampung, kami jadi ngobrol dan diarahkan untuk menemui Mas Didi. Letak restoran Mas Didi, G'Ummati, cukup jauh dari Amnesty tapi untungnya Bandar Lampung tak sebesar atau sepadat Jakarta. Dalam waktu setengah jam kami sudah sampai.
Mas Didi dan kedua anaknya |
Kedai Friday 31 kini dikelola oleh orang tua dan adik Mas Didi |
produk besutan Mas Didi |
Mas Didi adalah orang yang berjasa menaikkan derajat kopi Lampung yang tadinya dikenal sebagai 'kopi asalan' menjadi kopi 'fine robusta' dengan grade berstandard impor. Ia mulai melakukan penyuluhan pada para petani sejak tahun 2015 dan mengajukan hasil panennya ke berbagai perlombaan di tahun 2016. Memenangkan berbagai kontes itu membuat kepercayaan diri petani kopi tumbuh dan mereka semakin giat meningkatkan kualitas kopi yang kini harganya sudah dua kali lipat sebelumnya. Tak heran semakin banyak kopi robusta Lampung yang bisa kita temui di kedai-kedai kopi kekinian karena pamornya sudah sekelas kopi single origin daerah lain di Indonesia.
Mas Didi mendirikan kedai kopi Friday 31 pada tahun 2016 dan melibatkan seluruh keluarganya untuk ikut meramaikan. Kedua orang tua dan adiknya kini menjalankan operasional kedai ini, sementara Mas Didi dan istrinya fokus di resto-kafe G'Ummati. Selain kedai kopi ia juga menjual produk kopi bubuk dengan merek De Lampoeng yang kini bisa ditemui di seluruh cabang toko swalayan Chandra atau Chamart. Melihat peluang bisnis kopi yang juga merebak di Bandar Lampung, Mas Didi mengambil kesempatan ini dengan memproduksi mesin sangrai untuk memenuhi kebutuhan 'para pesaing' pebisnis kopi. Sungguh langkah brilian untuk selangkah lebih maju ya!
Teh Imas Sobariah
Saya hanya dapat satu jam ngobrol dengan Teh Imas, istri dan rekan pendiri Rumah Kreatif Teater Satu Lampung: Iswadi Pratama. Wanita kelahiran Jawa Barat ini telah menetap di Lampung mengikuti suaminya dan mendirikan Teater Satu yang sempat dinobatkan sebagai teater terbaik Indonesia tahun 2009 oleh Majalah Tempo dan juga menelurkan sutradara, naskah, dan pemain terbaik (baca di sini).
berswafoto jam 10 malam (Teh Imas yang pakai baju daun-daun di belakang saya) |
Teh Imas dan suaminya membuka rumah mereka sebagai basecamp untuk anak-anak latihan, yang biasanya penuh dari jam pulang kantor hingga pukul 11 malam. Walau tak banyak ngobrol, saya bisa merasakan kekompakan, kehangatan dan keceriaan teman-teman di Teater Satu ini. Dari situ saja saya bisa mengira-ngira seperti apa karakter Kang Is dan Teh Imas ini sebagai tokoh yang menginspirasi banyak orang (termasuk di antara para murid mereka adalah Trie Utami dan Lukman Sardi). Saya yakin bukan kebetulan saya bisa dipertemukan dengan orang-orang hebat seperti Teh Imas ini.
Tokoh-tokoh Lain
Ada beberapa tokoh lain yang saya temui dalam perjalanan ini, tapi tak saya ceritakan secara detail karena mereka bergerak di bawah naungan institusi. Bukan berarti mereka tidak keren, tapi artikel kali ini saya fokuskan pada para penggerak, inisiator, pelopor yang menginspirasi. Beberapa tokoh lain yang berjasa mengantarkan saya dan memberikan info berguna untuk riset ini adalah Mas Kamto dari Desa Kenalan, serta Mas Seno dan timnya (ada Mas Sunu, Pak Dayat, Pak Yudi, dan Pak Hatta) dari Balkondes Magelang. Di Lampung, saya diantar dan diberi info oleh Ibu Retno dan timnya dari Dinas Pariwisata.
Mas Seno, Om Wowo, Mas Kamto, dan Mas Sunu di Desa Kenalan |
Pak Dayat, Mas Sunu, Pak Hatta, Mas Seno, Pak Yudi dan saya di kantor Balkondes (maafkan kualitas foto yang buruk ini) |
Ketiga tokoh ini, Mas Kamto, Mas Seno dan Bu Retno, bagi saya adalah contoh pegawai yang mencintai pekerjaannya. Bisa saya lihat hal itu dari antusiasme mereka ketika bercerita tentang program yang dilakukannya dan dari pendapat pihak yang mereka bantu. Berusaha sendiri dan membuat perubahan adalah bukanlah hal mudah, tetapi bekerja dalam sebuah institusi negara dan berusaha mengubah kebiasaan sebuah desa sama sulitnya walau tantangannya berbeda.
Ketiga tokoh ini tak lelahnya melakukan kunjungan, memberikan penyuluhan dan pembinaan, serta mendorong warga desa untuk mau berkembang. Mengubah kebiasaan yang telah terbentuk selama ratusan tahun adalah sebuah tantangan tersendiri, tentunya. Saya sangat salut dengan dedikasi mereka, visi mereka, dan kegigihan mereka untuk mendorong terjadinya perubahan, walau mereka tahu ini tak bisa instan. Terima kasih untuk perjuangan kalian, Mas Kamto, Mas Seno, dan Bu Retno!
0 comments
Terima kasih sudah memberi komentar. Mohon kesabarannya menunggu saya baca dan balas komennya ya. Rahayu.